Selasa, 04 September 2007

Windyku sama seperti yang lain

Setiap anak mempunyai kemampuan sama namun potensi berbeda.Kemampuan seseorang selama ini diukur dengan Intelegensia (populernya IQ).Kemudian, bagaimana dengan potensi?. Lingkungan masyarakat cenderung mengkotak-kotakkkan kemampuan seseorang, misalnya, nilai matematika Alif selalu 9 (anak demikian dikategorikan pintar); lainhalnya dengan Adiz, nilai raportnya standar-satndar saja tetapi berbakat melukis. Penilaian yang demikian tentu tidak obyektive.
Windy, anak kelas 5 SD berumur sekitar 10 tahun. Dalam kategori aktif dan pasif, dia termasuk anak pasif. Windy, saya membantunya mengenal bahasa Inggris. Orang tuanya mengirimnya kepada saya untuk mempelajari mata pelajran yang tidak wajib itu. Berdasrkan penglaman dan jam terbang yang masih sangat amat kurang, saya menerimanya.
Selama ini, saya selalu membantu anak-anak yang dikategorikan berotak encer dan cenderung hiperactive. Anak-anak yang selama ini saya ampu selalu memulai diskusi kecil sebelum kegiatan belajar dimulai. Terkadang diskusi kecil itu sampai 30 menit lamanya. Meskipun kelihatannya sepele', diskusi awal itu cukup menghibur bahkan memunculkan motivasi untuk belajar. Saya bisa mnciptakan joke-joke kecil dan timbal balik kulakan (membeli sesuatu untuk dijual - bahas jawa) joke dari mereka. Misalnya, Kucing berkaki empat bahsa inggrisnya apa? jawabannya catbien (dari dulu - bahasa jawa), menayakan bahsa Inggrisnya " kacian deh lu " (bahasa gaul Indonesia yang sedang populer), menayakan bahasa Ingrisnya "sungguh terlalu" (ungkapan dalam sinetron sientong) dan sejenisnya. Saya tidak hanya kulakan dalam diskusi saja melainkan perdebatan dalam menjawab soal juga. Misalnya, "Tanti eats bakso" dengan pertanyaan kenapa verb nya memakai s dan jawabannya sudah takdirnya; Kenapa mesti pake' good evening koq nggak good night khan sama-sama artinya malam?; kemudian koq cupboard artinya lemari, cup khan gelas trus board khan papan, seharusnya khan papan gelas; dan sejenisnya.
Kejadian-kejadian lucu diatas tidak saya temukan pada diri windy. Anak ini cenderung pasif dan mempunyai psikomotorik yang lemah. Pertemuan pertama, windy sama sekali tidak bisa greeting sederhana dan memulai mengerjakan sesuatu seperti robot tanpa ekspresi dan sepatah kata pun keluar dari inisitifnya sendiri. Saya tidak patah arang, saya memakai cara drill vocabulary, dia tidak mampu menghafal 10 buah tapi hanya mampu lima itupun sering kurang tepat. Pada pertemuan berikutnya, saya mengajak dia bermain-main dengan apidol dan kertas asturo. pertemuan kedua ini, saya menemukan dia kurang bisa berinisiatif dan kurang kreatif. Windy, menuliskan hari dari monday sampai saturday sama persis daria wal sampai akhir meskipun saya sudah merangsangnya dengan aneka jenis dan warna. Kegiatan belajar itu menjadikan saya lumayan stress sampai pertemuan ke 5.
Alhamdulillah, hasil diskusi dengan kakak dan temen-temen di kampus saya menemukan solusinya. Saya ubah paradigma dalam fikiran, windy sama seperti yang lain. Dengan modal eksperimen dan nekat saya mulai belajar dengan windy. Pertama, saya tidak akan menganggap dia bodoh cuma dia kurang dibandingkan dengan yang lain. Kedua, saya tidak akan memaksakan menyelesaikan materi untuk dia, windy cukup faham saja meskipun sedikit. ketiga, windy tidak boleh dikasihani, dia butuh perhatian lebih. Keempat, menyentuh hatinya dengan kasih sayang dan reward berupa pujian. Terakhir meskipun bukan yang terakhir, Saya menganggap belajar dengan windy bukan untuk mencari materi tapi belajar layaknya dengan adik saya sendiri.
Apa kebanggaan seorang guru? Ketika seorang muridnya yang kurang bisa menjadi murid yang biasa-biasa saja, murid yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Tetapi guru itu tidak istimewa, murid yang inputnya bagus outputnya tetap bagus. Demikian juga dengan windy, hasil kerja keras saya tercapai. Akhirnya ujian semesteran tiba, nilai rapor windy tidak berubah tetap 75. Namun, terbesit kebanggan dalam diri saya, windy mengerjakan soal tidak seperti robot melaikan dengan pemahaman penuh. Kata hati saya berkata "Kelinci eksperimenku berhasil juga." Amazing, orang tuanya merasa sangat puas dengan perubahan windy yang mengarah lebih baik. Memang, windy sama seperti yang lainnya, dia mampu dan bisa menguasai pelajaran dengan baik.

Ayahku Seorang Pendongeng

Masih teringat jelas dalam memoriku sewaktu kecil beranjak tidur, ayah mendongengkanku cerita mulai dari Kancil Nyolong Timun sampai Kisah Nabi Muhammad. Sudah 16 tahun yang lalu namun ceritanya masih terngiang sampai sekarang. Seakan bernostalgia dengan dongeng tersebut menjadikannya bahan pengajaran reading dan menjadikannya final project untuk lulus sarjana.
Dalam buku terbitan Kompas "sekolah alternatif untuk anak", ada beberapa artikel mengenai dongeng. Artikel-artikel tersebut mengulik manfaat dongeng. Allahuakbar, artikel itu menunjukkan bahwa dongeng merangsang otak anak untuk berkembang dan mengisi kekosongan batiniah; Sehingga, membuat anak yang masa kecilnya didongeni menjadi kuat menghadapi masa sulit di masa mendatang. Ini dikarenakan si anak telah belajar menghadapi konflik dan persaingan disertai penyelesaiannya melalui media dongeng.
Ayah adalah seorang pendongeng pengantar tidur untukku. Kalau bukan karena dia, aku tidak akan belajar bagaimana mendapat ide dan mengembangkannya dengan memainkan imajinasi menjadi sebuah pembelajaran hidup. Tak disangka-sangka, setelah perenungan dongeng masa kecil mengantarkanku menjadi orang yang tidak menyerah pada permasalahan dengan menyelesaikan masalah secara instan.
Figur ayah memang sudah fitrahnya diagungkan, demikian juga diriku. Ayah adalah seorang pendidik di sekolah tetapi dirumah, beliau seorang pembimbing dan sahabat bagi ank-anaknya. Tidak heran ayah pandai mendongeng karena beliau lulusan SGA (Sekolah Guru Atas), sekolah untuk guru SD. Tetapi, ayah bukan guru SD melainkan SMP karena melanjutkan sekolah lagi sampai lulus menjadi sarjana muda sejarah. Beliau bisa menjadikan posisinya sebagai ayah dan ibu (meskipun peran ibu juga sangat berperan dalam hidup seorang anak). Tidak dipungkiri, aku lebih dekat dengan ayah daripada ibu. Setalah ayah meninggal, rasa kehilangan itu membawaku pada memori dongeng masa kecilku. Sekarang, masa-masa itu kutransferkan pada anak didikku. Aku berharap, dongeng itu bisa menjadikan keakraban dan pemenuhan kehausan berimajinasi anak didikku

Senin, 03 September 2007

Potret Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakan tolak ukur kemapanan seseorang. Selama ini pendidikan sistem konvensional merupakan pendidikan pilihan yang laris manis bagaikan pisang goreng. Mulai dari buruh pabrik sampai pejabat di negeri ini mengirimkan anak mereka kesekolah dengan dalih meraih masa depan. Namun, pertentangan pemberlakuan sistem pendidikan yang berubah-ubah menyeret pertentangan hebat dikalangan masyarakat. Mulai dari kurikulum yang berubah setiap 4 tahun sekali sampai pro-kontra UAN (Ujian Akhir Nasional). Pertentangan tersebut memunculkan fenomena pemilihan pendidikan alternatif.
Masyarakat menanggapi carut marutnya pendidikan dengan berbagai macam cara. Munculnya sekolah unggulan berbasis kebebasan berfikir sampai homeschooling. Kita disibukkan berita di media massa dengan berita mengenai profil sekolah alternatif unggulan seperti, SMA Muthohari Bandung, Sekolah Qoryah Thoyyibah, Sekolah Alam, Akselerasi, sampai SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Tak kalah hebohnya para Psikolog dan praktisi pendidikan sampai kalangan selebritis mempromosikan homeschooling. Fenomena homeschooling melirik banyak orang untuk mengenalnya bahkan mengujicoba program tersebut.
Homeschooling yang berkembang di Indonesia sekarang hampir mengarah marketisasi pendidikan. Bayangkan saja Homeschooling setingkat Sekolah Menengah Atas hampir menelan biaya 10-20 juta perbulannya. Kemerdekaan berfikir akankah dibayar mahal semahal itu.